Sejenak kita akan membahas (lagi) ilmu 
tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang budiman masih bertanya 
tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, dan sukma. Sebelum saya 
menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa cuplikan 
pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan 
menambah khasanah ilmu kejiwaan.
KERANCUAN MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS
JIWA, di dalam Oxford Dictionary tertulis 
soul (roh), 
mind dan 
spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani 
Psychê yang berarti jiwa dan 
logos
 yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang 
fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan 
jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi 
tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato berargumen, 
bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh
 ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena 
tubuh menghambat kebebasan jiwa.
 Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400 SM), semua yang hidup 
mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. 
Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali 
kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) 
untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada 
saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, 
ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu
 bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, 
maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, 
Plato atau Aristoteles ? Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan 
Aristoteles tetap  mengandung kelemahan-kelemahan. Bahkan jika ditelaah 
lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di mana jiwa 
(nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini bukan 
berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. 
Dapat dimaklumi sebab 
mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti menggunakan jiwa kita sendiri. 
Golek latu adadamar,
 atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. 
Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan 
dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag. Hanya saja, untuk 
melengkapi pembahasan terdahulu dalam posting  
MENGENALI JATI DIRI
 kiranya perlu dilakukan komparasi terhadap khasanah ilmu jiwa yang 
telah disampaikan oleh para pendahulu kita agar jiwa kita menjadi jiwa 
yang betul-betul merdeka. Merdeka lahir dan merdeka batin.
 
JIWA MENURUT KI AGENG SURYO MENTARAM
Sejenak para pembaca yang budiman saya 
ajak mampir ke padepokan seorang filsuf Jawa dan kondang sebagai seorang
 yang linuwih dan sakti mandraguna. Beliau adalah Ki Ageng Suryo 
Mentaram (kebetulan dulu tinggalnya di belakang rumah kami). Ki Ageng 
Suryo Mentaram membahas ilmu jiwa yang dikemukakan seorang filsuf Jawa 
sekaligus penghayat kejawen yang pada waktu hidupnya beliau terkenal sebagai seseorang yang memiliki ilmu linuwih dan sakti mandraguna.Baca selanjutnya !
Ilmu jiwa sebagaimana diungkapkan Ki Ageng Suryo Mentaram dikenal dengan dua macam jiwa. Yakni jiwa KRAMADANGSA, dan jiwa BUKAN KRAMADANGSA. Apa yang disinyalir sebagai jiwa kramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an,
 misalnya aku bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku 
seorang satrio piningit, aku adalah seorang kaya raya. Ki Ageng Suryo 
Mentaram mensinyalir adanya “rasa jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai 
sebagai Aku bukan kramadangsa. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa aku kramadangsa adalah ke-aku-an (naari atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa
 adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki KESADARAN memilih mana
 yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai “Aku kang jumeneng pribadi”.
Menurut Ki Ageng Suryomentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama, pancaindera,
 seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat 
pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) 
dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena 
api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. Dengan demikian alat pengertian
 ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya 
bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari 
alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, 
kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi
 hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau 
bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui 
karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.
JIWA YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)
Seperti yang telah saya kemukakan dan jabarkan dalam posting terdahulu tentang 
MENGENALI JATI DIRI. Jiwa adalah nafas, 
nafs, hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali  artinya sepadan dengan apa yang dimaksud 
jiwa yang mutmainah (an-nafsul mutmainah). Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Ki Ageng Suryo Mentaram sebagai 
aku bukan kramadangsa. 
Aku bukan kramadangsa
 selanjutnya saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI 
KAREPING RAHSA, lebih mudah dipahami bila saya analogikan sebagai  JIWA 
yang TUNDUK KEPADA SUKMA SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai 
jiwa  kramadangsa, 
aku kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.
Barangkali perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa
 (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi 
oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles 
hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang 
ikut mati. Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini adalah 
jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa 
hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad 
manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah 
dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak 
catatan-catatan in memorial dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kramadangsa-ku.
JIWA, ROH, JASAD
Tulisan saya di sini mencoba untuk 
membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga unsur inti manusia 
yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi buku hanya 
bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah 
untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang 
bisa diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat 
subyektif, artinya tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak 
orang, namun saya yakin banyak di antara para pembaca pernah merasakan, 
paling tidak dapat meraba apa sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh,
 dan jasad. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah 
entitas gaib itu berada dalam diri kita. Diri yang terdiri dari unsur 
gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak 
bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah diri 
kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita mengalienasi
 (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang sungguh 
dekat dan melekat di dalam badan raga kita.
Sukma-Raga
Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. Sukma atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atau hardware.  Adapun hardware di sini berupa otak (brain)
 kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan
 dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat elektronik bernama PC atau 
personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian 
beberapa hardware. Hardware otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation) dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual mind atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.
Sukma-Jiwa
Namun demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan penghubung antara sukma dengan raga. Aktivitas sukma antara lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita,
 perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa
 mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa 
verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya 
modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang 
dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.
Namun demikian, masing-masing jiwa 
memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal 
atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga,   tergantung program 
atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya. 
Misalnya kita memiliki program canggih bernama Java script, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.
Jiwa-Raga
Setelah jiwa berhasil menterjemahkan 
“bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, 
selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory
 (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu 
memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan 
oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logic. Sebab sejauh yang bisa saya saksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal.
 Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan”  bukan pada 
kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima 
informasi dan “data-data gaib”. Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan 
hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di 
dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala 
sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha
 adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan.
 Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. 
Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan 
sejati, alam kelanggengan, papan kang langgeng tan owah gingsir.
 Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi 
kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau busuk sebagaimana pernah saya
 ungkapkan dalam kisah terdahulu, silahkan para pembaca yang budiman 
membuka posting berjudul KUNCI MERUBAH KODRAT. Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip mercapadha,
 yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan 
dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga. 
Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus 
atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.
RUMUS-RUMUS KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB
Jiwa yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan software
 yang merdeka dan bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa 
yang mempunyai prinsip keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara 
sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. 
Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma,
 ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk menjadi pribadi 
yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya  harus 
memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping rahsa).
 Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan 
dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi
 yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup 
di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi 
jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup 
dalam penguasaan lymbic section, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati.
Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu 
condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi
 kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag 
planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang 
mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab 
kehidupan duniawi ini akan sangat menentukan bagimana 
kehidupan kita kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai 
kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di dunia merupakan bekal di akhirat. 
Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal dalam memahami
 apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka kehidupan di 
planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh 
dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke
 alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara 
kehidupan dunia ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara 
muridnya melakukan tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.
NYAWA, KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA
Banyak orang, melalui berbagai referensi,
 menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan dipahami secara rancu dengan 
menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa, roh, sukma, diartikan 
sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga sukma, 
perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat 
terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! 
Kenapa orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama 
saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi 
dan bagimana duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus 
tuhan yang berlaku di dalamnya ?
Butuh waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar saya bisa menerimanya. Nyawa ibarat “lem perekat” yang menghubungkan antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai lem perekat tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika lem perekatnya sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad.  Lain halnya dengan meraga sukma, lem perekat masih berfungsi dengan baik, sehingga kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya saja lem perekat
 bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem perekat pada 
umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda padat. 
Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma  secara fleksibel, bagaikan dua 
peralatan yang dihubungkan oleh teknologi nir kabel. Namun demikian nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi bluetooth
 yang bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh. 
Dalam khasanah spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan 
adanya keterkaitan masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga 
supaya hidup harus dihidupkan oleh sukma,  sukma diikat oleh rasa. 
Ikatan rasa akan pudar dan lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak 
kuat lagi menahan penderitaan dan trauma yang dialami oleh raga. Bila 
seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit, kesadaran jasadnya akan 
hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran jasadnya akan sirna 
samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa kematian adalah 
padamnya  “alat nirkabel” atau semacam “bluetooth” bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya dengan aksi meraga sukma, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap terhubung dengan raga melalui “teknologi” bluetooth bikinan tuhan bernama nyawa.